Sabtu, 02 Maret 2013

Tergiur Imbal Hasil Fantastis

Kasus penipuan emas yang melibatkan Raihan Jewellery dan Global Traders Indonesia Syariah cukup mengagetkan. Dana masyarakat yang dipertaruhkan dalam kasus tersebut sedikitnya sampai Rp 45 triliun. Apalagi kasus tersebut melibatkan lembaga dan sejumlah tokoh di negeri ini.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyinyalir praktik model investasi seperti itu saat ini sangat marak. Dua perusahaan lain yang juga melakukan hal serupa adalah Virgin Gold Mining Corporation dan Trimas Mulia. Harga emas yang terus naik selama beberapa tahun terakhir membuat emas menjadi pilihan investasi menarik, apalagi dengan iming-iming bonus tetap bulanan.
Lalu, bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut menjaring nasabahnya? Mereka menerapkan sistem agen untuk merekrut nasabah. Selanjutnya nasabah hanya berhubungan dengan si agen. Untuk menarik minat, mereka melakukannya lewat cara-cara populer, seperti seminar dan peluncuran produk dengan melibatkan tokoh terkenal. Tak hanya seminar, mereka juga turun ke daerah-daerah lewat acara arisan dan sejenisnya.
Model bisnisnya adalah menawarkan emas dengan harga lebih tinggi daripada harga pasar, tetapi diiming-imingi dengan bonus bulanan sebagai bagi hasil dengan nilai 7,5-10 persen per bulan. Jika fisik emas dipegang nasabah, bonusnya lebih kecil dibandingkan jika dititip ke perusahaan.
Model seperti itu sebenarnya bukan barang baru. Kasus yang melibatkan PT QSAR di Sukabumi mungkin masih segar dalam ingatan. Skema yang mereka pakai mirip dengan money game atau skema Ponzi, yaitu memutar dana nasabah dengan cara membayar bonus nasabah lama dengan sumber uang dari nasabah baru. Tidak ada aktivitas bisnis riil yang bisa menopang bisnis ini.
Alhasil, yang terjadi adalah para peserta saling membayar dengan uangnya sendiri. Uang yang ditanam peserta dipakai untuk membayar bunga, sementara bisa saja sisanya diputar untuk spekulasi di bisnis lainnya. Sampai akhirnya pembayaran macet karena beban bunga selalu lebih besar daripada jumlah nasabah baru yang bergabung, atau karena mengecilnya pendapatan dari para nasabah yang mendaftar belakangan.
Jika kasus serupa sudah sering terjadi, kenapa masih saja berulang? Masyarakat tidak pernah mau belajar dari pengalaman. Mereka terlalu tergiur dengan imbal hasil yang cukup fantastis, meski sering tidak masuk akal. Nilai return atau profit yang terlalu besar seharusnya dicurigai karena nilai yang besar risikonya pun besar.
Banyak nasabah yang terjaring praktik penipuan investasi menjadi sinyal tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Bank Dunia merilis jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 134 juta jiwa. Stabilitas ekonomi beberapa tahun ini, telah mendongkrak ekonomi di daerah sehingga mencetak orang-orang kaya baru. Mereka kelebihan dana, dan membutuhkan saluran investasi. Fenomena peningkatan kelas menengah selama ini baru sikapi dari sisi konsumsi. Padahal hal ini seharusnya ditangkap oleh lembaga pegiat investasi baik perbankan maupun nonbank.
Untuk memantau sepak terjang para perusahaan yang nakal tersebut, pemerintah sebenarnya sudah memiliki satuan tugas waspada investasi, yang terdiri dari sejumlah institusi seperti Bappebti, otoritas jasa keuangan, kejaksaan, kepolisian, Bank Indonesia, dan Kementerian Koperasi. Sayangnya, lembaga tersebut belum berperan maksimal.
Sumber Kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar