Kasus penipuan emas yang melibatkan Raihan Jewellery dan Global Traders Indonesia Syariah cukup mengagetkan. Dana
masyarakat yang dipertaruhkan dalam kasus tersebut sedikitnya sampai Rp
45 triliun. Apalagi kasus tersebut melibatkan lembaga dan sejumlah
tokoh di negeri ini.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi (Bappebti) menyinyalir praktik model investasi seperti itu
saat ini sangat marak. Dua perusahaan lain yang juga melakukan hal
serupa adalah Virgin Gold Mining Corporation dan Trimas Mulia. Harga
emas yang terus naik selama beberapa tahun terakhir membuat emas
menjadi pilihan investasi menarik, apalagi dengan iming-iming bonus
tetap bulanan.
Lalu, bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut
menjaring nasabahnya? Mereka menerapkan sistem agen untuk merekrut
nasabah. Selanjutnya nasabah hanya berhubungan dengan si agen. Untuk
menarik minat, mereka melakukannya lewat cara-cara populer, seperti
seminar dan peluncuran produk dengan melibatkan tokoh terkenal. Tak
hanya seminar, mereka juga turun ke daerah-daerah lewat acara arisan
dan sejenisnya.
Model bisnisnya adalah menawarkan emas dengan
harga lebih tinggi daripada harga pasar, tetapi diiming-imingi dengan
bonus bulanan sebagai bagi hasil dengan nilai 7,5-10 persen per bulan.
Jika fisik emas dipegang nasabah, bonusnya lebih kecil dibandingkan
jika dititip ke perusahaan.
Model seperti itu sebenarnya bukan
barang baru. Kasus yang melibatkan PT QSAR di Sukabumi mungkin masih
segar dalam ingatan. Skema yang mereka pakai mirip dengan money game atau
skema Ponzi, yaitu memutar dana nasabah dengan cara membayar bonus
nasabah lama dengan sumber uang dari nasabah baru. Tidak ada aktivitas
bisnis riil yang bisa menopang bisnis ini.
Alhasil, yang terjadi
adalah para peserta saling membayar dengan uangnya sendiri. Uang yang
ditanam peserta dipakai untuk membayar bunga, sementara bisa saja
sisanya diputar untuk spekulasi di bisnis lainnya. Sampai akhirnya
pembayaran macet karena beban bunga selalu lebih besar daripada jumlah
nasabah baru yang bergabung, atau karena mengecilnya pendapatan dari
para nasabah yang mendaftar belakangan.
Jika kasus serupa sudah
sering terjadi, kenapa masih saja berulang? Masyarakat tidak pernah mau
belajar dari pengalaman. Mereka terlalu tergiur dengan imbal hasil
yang cukup fantastis, meski sering tidak masuk akal. Nilai return atau
profit yang terlalu besar seharusnya dicurigai karena nilai yang besar
risikonya pun besar.
Banyak nasabah yang terjaring praktik
penipuan investasi menjadi sinyal tumbuhnya kelas menengah di
Indonesia. Bank Dunia merilis jumlah kelas menengah di Indonesia
mencapai 134 juta jiwa. Stabilitas ekonomi beberapa tahun ini, telah
mendongkrak ekonomi di daerah sehingga mencetak orang-orang kaya baru.
Mereka kelebihan dana, dan membutuhkan saluran investasi. Fenomena
peningkatan kelas menengah selama ini baru sikapi dari sisi konsumsi.
Padahal hal ini seharusnya ditangkap oleh lembaga pegiat investasi baik
perbankan maupun nonbank.
Untuk memantau sepak terjang para
perusahaan yang nakal tersebut, pemerintah sebenarnya sudah memiliki
satuan tugas waspada investasi, yang terdiri dari sejumlah institusi
seperti Bappebti, otoritas jasa keuangan, kejaksaan, kepolisian, Bank
Indonesia, dan Kementerian Koperasi. Sayangnya, lembaga tersebut belum
berperan maksimal.
Sumber Kompas.com
Sabtu, 02 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar