Add cIndonesia tidak memiliki badan khusus yang independen untuk melakukan pembatasan dan penyaringan konten. (Foto: Ilustrasi) |
Koordinator pemantauan kebijakan dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, menilai forum tersebut sangat penting karena hingga kini pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan yang memadai dalam melakukan pembatasan dan pelarangan ekspresi di Internet.
Wahyudi mengatakan Indonesia juga tidak memiliki badan khusus yang independen untuk melakukan pembatasan dan penyaringan konten. Selama ini, kata Wahyudi, pembatasan dan penyaringan konten tidak dilakukan oleh pengadilan sehingga banyak situs yang kemudian menjadi korban.
“Akibatnya banyak sekali konten-konten yang diblokir karena alasan pornografi, terorisme, kekerasan dan sebagainya. Kita dapat melihat kalau kita membuka ponsel kita, misalnya, atau membuka situs-situs tertentu itu ditutup tanpa ada alasan atau pemberitahuan yang jelas kenapa situs-situs itu ditutup. Kita mau mengeluh ke mana tidak tahu karena tidak ada mekanisme pengajuan keluhan,” ujarnya pada konferensi pers Jumat (1/3).
Adanya ancaman pemidanaan akibat penggunaan Internet dan media sosial, lanjut Wahyudi, juga menjadi permasalahan di Indonesia.
Ia menyatakan penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bukan hanya terjadi terhadap Prita Mulya Sari tetapi juga beberapa orang lainnya termasuk Musni Umar, seorang pengamat pendidikan yang dilaporkan ke polisi setelah menulis di blognya mengenai dugaan penyalahgunaan dana oleh pejabat di salah satu sekolah.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika dari Kementerian Komunikasi dan informatika, Ashwin Sasongko, mengatakan dalam Internet Governance Forum, pemerintah Indonesia akan menyaring pendapat-pendapat dari berbagai pihak agar mendapatkan masukan yang baik.
Pemerintah Indonesia, lanjut Ashwin, juga terus meningkatkan penggunaan Internet secara sehat dan aman. Selain itu pemerintah Indonesia juga saat ini terus mengembangkan koneksi Internet untuk pulau-pulau terluar dan daerah perbatasan di Indonesia, ujarnya.
“Indonesia ini negara hukum jadi memang semua orang harus memperhatikan ini. Tetapi satu hal yang menurut saya penting, bahwa etika cyber space dan di real space itu harusnya sama saja. Selama ini yang kita amati bahwa orang Indonesia, masyarakat kita bicara di real space ok ok saja tidak maki orang, tetapi di cyber space tiba-tiba maki-maki,” ujarnya.
Sementata itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia Samuel Pangerapan menegaskan yang dibutuhkan pengusaha adalah kepastian hukum dan jaminan terhadap iklim yang kondusif
“Kami akan mengikuti semua aturan tetapi jangan sampai aturan ini memberatkan dan akhirnya menghalangi perkembangan penyambungan Internet di Indonesia. Masih banyak sekali saudara-saudara kita yang perlu koneksi Internet di seluruh Indonesia. Ini yang perlunya suatu aturan dan simulasi dari kebiajkan-kebijakan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan Internet di Indonesia,” ujarnya.
Data yang dikumpulkan Elsam menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Sampai dengan akhir 2012, pengguna Internet mencapai 63 juta (sekitar 25 persen
penduduk),
menempati delapan besar dunia dan nomor empat terbesar di Asia.
Sementara pengguna jejaring sosial Facebook mencapai 51,096,860,
terbesar keempat di dunia, sedangkan pengguna twitter mencapai 29,4
juta, atau terbesar nomor lima di dunia.
Sumber Voaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar